(Sejarah Singkat Putra Putri Rosulullah Bag VII)
(Wafat 8 H)Zainab adalah putri tertua Rasulullah .. Rasulullah . telah menikahkannya dengan sepupu beliau, yaitu Abul ‘Ash bin Rabi’ sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, atau ketika Islam belum tersebar di tengah-tengah mereka. lbu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwaylid, bibi Zainab dari pihak ibu. Dari pernikahannya dengan Abul ‘Ash mereka mempunyai dua orang anak: Ali dan Umamah. Ali meninggal ketika masih kanak-kanak dan Umamah tumbuh dewasa dan kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib. setelah wafatnya Fatimah.
Setelah berumah tangga, Zainab tinggal
bersama Abul ‘Ash bin Rabi’ suaminya. Hingga pada suatu ketika, pada
saat suaminya pergi bekerja, Zainab mengunjungi ibunya. Dan ia dapatkan
keluarganya telah mendapatkan suatu karunia dengan diangkatnya, ayahnya,
Muhammad . menjadi Nabi akhir jaman. Zainab mendengarkan keterangan
tentang Islam dari ibunya, Khadijah.. Keterangan ini membuat hatinya
lembut dan menerima hidayah Islam. Dan keislamannya ini ia pegang dengan
teguh, walaupun ia belum menerangkan keislamannya kepada suaminya, Abul
‘Ash.
Sedangkan Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah
termasuk orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Pekerjaan
sehari-harinya adalah sebagai peniaga. Ia sering meninggalkan Zainab
untuk keperluan dagangnya. la sudah mendengar tentang pengakuan Muhammad
sebagai Nabi .. Namun, ia tidak mengetahui bahwa istrinya, Zainab sudah
memeluk Islam. Pada tahun ke-6 setelah hijrah Nabi . ke Madinah.
Abul ‘Ash bin Rabi’ pergi ke Syria
beserta kafilah-kafilah Quraisy untuk berdagang. Ketika Rasulullah .
mendengar bahwa ada kafilah Quraisy yang sedang kembali dari Syria,
beliau mengirim Zaid bin Haritsah ra. bersama 313 pasukan muslimin untuk
menyerang kafilah Quraisy ini. Mereka menghadang kafilah ini di dekat
Al-is di Badar pada bulan jumadil Awal. Mereka menangkap kafilah itu dan
barang-barang yang dibawanya serta menahan beberapa orang dari kafilah
itu, termasuk Abul ‘Ash bin Rabi’. Ketika penduduk Mekkah datang unluk
menebus para tawanan, maka saudara laki-laki Abul ‘Ash, yaitu Amar bin
Rabi’, telah datang untuk menebus dirinya. Ketika itu, Zainab istri Abul
‘Ash masih tinggal di Mekkah. la pun telah mendengar berita serangan
kaum muslimin atas kafilah-kafilah Quraisy termasuk berita tertawannya
Abul ‘Ash.
Berita ini sangat meiiyedihkannya. Lalu
ia mengirimkan kalungnya yang terbuat dari batu onyx Zafar hadiah dari
ibunya, Khadijah binti Khuwaylid ra.. Zafar adalah sebuah gunung di
Yaman. Khadijah binti Khuwaylid telah memberikan kalung itu kepada
Zainab ketika ia akan menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Dan kali ini,
Zainab mengirimkan kalung itu sebagai tebusan atas suaminya, Abul ‘Ash.
Kalung itu sampai di tangan Rasulullah . Ketika beliau . melihat kalung
itu, beliau segera mengenalinya. Dan kalung itu mengingatkan beliau
kepada istrinya yang sangat ia sayangi, Khadijah. Beliau berkata,
‘Seorang Mukmin adatah penolong bagi orang Mukmin lainnya. Setidaknya
mereka memberikan perlindungan. Kita lindungi orang yang dilindungi oleh
Zainab. jika kalian bisa mencari jalan untuk niembebaskan Abul ‘Ash
kepada Zainab dan mengembalikan kalungnya itu kepadanya, maka
lakukaniah.’ Mereka menjawab, ‘Baik, ya Rasulullah ‘ Maka mereka segera
membebaskan Abul ‘Ash dan mengembalikan kalung itu kepada Zainab.
Kemudian Rasulullah . menyuruh Abul ‘Ash
agar berjanji untuk membiarkan Zainab bergabung bersama Rasulullah . Dia
pun berjanji dan memenuhi janjinya itu. Ketika Rasulullah . pulang ke
rumahnya, Zainab datang menemuinya dan meminta untuk mengembalikan
kepada Abul ‘Ash apa yang pernah diambil darinya. Beliau mengabulkannya.
Pada kesempatan itu, Beliau pun telah melarang Zainab agar tidak
mendatangi Abul ‘Ash, karena dia tidak halal bagi Zainab selama dia
masih kafir.
Llalu Abul ‘Ash kembali ke Mekkah dan
menyelesaikan semua kewajibannya. Kemudian dia masuk Islam dan kembali
kepada Rasulutiah sebagai seorang Muslim. Dia berhijrah pada bulan
Muharram, 7 Hijriyah. Maka Rasulullah . pun mengembalikan Zainab
kepadanya, berdasarkan pernikahannya yang pertama
Zainab wafat pada tahun 8 Hijriyah.
Orang-orang yang memandikan jenazahnya ketika itu, antara lain ialah;
Ummu Aiman, Saudah binti Zam’ah, Ummu Athiyah dan Ummu Salamah..
Rasulullah . berpesan kepada mereka yang akan memandikan jenazahnya
ketika itu, ‘Basuhiah dia dalarn jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali atau
iebih jika kalian merasa lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan
anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan air dan bunga. Bubuhi
sedikit kapur barus pada air siraman yang terakhir. Jika kalian sudah
selesai beritahukaniah kepadaku.’ Ketika itu, rambut jenazah dikepang
meniadi tiga kepangan, di samping dan di depan lalu dikebelakangkan.
Setelah selesai dari memandikan jenazah, Ummu Athiyah memberitahukan
kepada Nabi . Lalu Nabi memberikan selimutnya dan berkata, ‘Kafanilah
dia dengan kain ini.’
Cerita cinta
Cinta tak cukup untuk menyatukan dua
manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan mungkin mereka saling
bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali yang telah
terpisahkan sekian lama.
Tersebutlah kisah tentang putri pemimpin
para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang wanita bangan Quraisy,
Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay
Al-Qurasyiyyah radhiallahu ‘anhu, saat ayahnya memasuki usia tiga puluh
tahun. Dia bernama Zainab radhiallahu ‘anha bintu Muhammad bin ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semasa hidup ibunya, sang putri yang
menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin
‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi
namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan Khadijah.
Ketika itu, Khadijah radhiallahu ‘anha menghadiahkan seuntai kalung
untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan itu, lahir Umamah dan ‘Ali,
dua putra-putri Abul ‘Ash.
Tatkala cahaya Islam merebak, Allah
Subhanahu wa Ta’ala membuka hati Zainab radhiallahu ‘anha untuk
menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di atas agama
nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda…
Orang-orang musyrik pun mendesak Abul
‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan tegas menolak
mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab radhiallahu ‘anha
masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.
Ramadhan tahun kedua setelah hijrah,
terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh
orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka.
Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.
Penduduk Makkah pun mengirim tebusan
untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara harta tebusan itu
seuntai kalung milik Zainab radhiallahu ‘anha untuk kebebasan suaminya.
Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa
terharu hati beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau
berkata pada para shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan
yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta tebusan yang dia
berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun menjawab, “Baiklah,
wahai Rasulullah!”
Kemudian mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan
Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah
radhiallahu ‘anhu bersama salah seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.”
Berpisahlah Zainab bintu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya
yang masih berkubang dalam kesyirikan.
Menjelang peristiwa Fathu Makkah, Abul
‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa
barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam
perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang
pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan
muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang dibawa
oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil meloloskan diri.
Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash
dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan.
Subuh tiba. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri menunaikan Shalat Shubuh.
Saat itu, Zainab radhiallahu ‘anha berseru dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”
Usai shalat, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat sembari bertanya, “Kalian
mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.”
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, “Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya.”
Setelah itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiallahu
‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk
keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil
hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku
ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya.
Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya.”
Seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash
kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa
harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan
penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada di
antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?” Mereka menjawab,
“Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar
seorang yang mulia dan memenuhi janji.” Abul ‘Ash pun kemudian
menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk
Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan
harta kalian. Sekarang setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta
itu kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas
meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.
Enam tahun bukanlah rentang waktu yang
sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri tercintanya, Zainab
radhiallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’ radhiallahu
‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya.
Dua insan kini bersama meniti jalan mereka …
Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah pertemuan itu, Zainab bintu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke hadapan Rabb-nya,
pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya untuk
selamanya.
Di antara para shahabiyyah yang
memandikan jenazahnya, ada Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyah radhiallahu
‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah Zainab radhiallahu
‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab radhiallahu
‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan kain
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu
telah pergi…
Sumber :
- Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1701-1704,1853-1854)- Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/30-35)
- Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 110-117)
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibrahim Al-‘Ali (hal. 192)
- Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/246-250), Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran, dinukil dari asysyariah.com, kategori cerminan shalihah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar