Rabu, 28 Agustus 2013

Ada yang Salah dengan Gamis Putihku?

Sewaktu saya kecil, saya sering merasa takjub ketika melihat siaran langsung shalat tarawih dari Masjidil Haram. Selain kagum melihat ka’bah, kiblat kaum muslimin, yang menjadi perhatian saya adalah ribuan jama’ah yang pakaiannya hampir seragam; baju panjang sampai mata kaki, dan warnanya pun sama, putih.

Selama bertahun-tahun saya bertanya-tanya, kenapa bisa begitu? Pasti ada sesuatu yang menyebabkan mereka berpakaian seperti itu. Sampai kemudian jawabannya saya temukan setelah saya mendengar kajian Islam dan membaca beberapa literatur di belakangan hari.
Antara Qamish dan Gamis
Pakaian yang dikenakan oleh para jama’ah itu namanya qamish (قميص), sering diindonesiakan menjadi gamis. Namun perlu diketahui bahwa nampaknya ada sedikit pergeseran makna di kalangan kaum muslimin di negeri ini. Qamish atau gamis lebih sering diidentikkan dengan pakaian panjang ala Pakistan, yaitu baju kemeja yang panjangnya sampai ke paha atau lebih ke bawah sedikit. Sedangkan pakaian yang benar-benar qamish sering disebut dengan jubbah.
Sebenarnya, qamish atau gamis adalah pakaian terusan dari bagian atas tubuh sampai pertengahan betis atau mata kaki. Inilah gamis yang disebutkan di dalam syariat kita. Untuk merujuk definisi ini, anda bisa membaca kitab Qutufun minasy Syamail Muhammadiyah, Ringkasan Kesempurnaan Pribadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu yang terjemahannya juga telah beredar di Indonesia.
Tidak diketahui kapan orang mulai memakai gamis. Tapi yang pasti, gamis telah menjadi pakaian di daerah Timur Tengah sejak lama. Bahkan dikisahkan di dalam Al Qur’an bahwa ketika akan diganggu oleh istri pembesar Negeri Mesir, Nabi Yusuf-pun menggunakan gamis, sehingga untuk membuktikan siapa yang telah berbuat nista di antara Nabi Yusuf dan istri pembesar Negeri Mesir tadi dilihatlah gamis Nabi Yusuf. Kalau robeknya di bagian depan, berarti Nabi Yusuf ‘alaihissalam lah yang berlaku nista. Sebaliknya apabila gamis beliau rusak di bagian belakangnya, berarti istri sang pembesar Mesir-lah yang memulai menggoda Nabi Yusuf.
Kisah ini Allah abadikan di dalam Al Qur’an, surat yusuf ayat 23-28. Allah ta’ala berfirman,
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ*وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ*وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوءًا إِلا أَنْ يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ*قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ*وَإِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِينَ*فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ
Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.
Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Rabb-nya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?”
Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta.
Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.”
Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar.” (Yusuf: 23-28)
Kembali ke pembahasan kita tentang gamis, perhatikan kisah di atas. Pakaian yang digunakan oleh nabi Yusuf adalah gamis. Ini membuktikan bahwa gamis telah menjadi pakaian orang-orang -bahkan pakaian seorang Nabi- di masa jauh sebelum di utusnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun sangat menyukai pakaian gamis. Di dalam sebuah hadits yang saya temukan di Kitab Riyadhus Shalihin yang sering dibacakan di masjid kami, disebutkan bahwa,
“Pakaian yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah al qamish (gamis)” (HR. At-Tirmidzi dan beliau menghasankannya)
Rasulullah dan Kesukaan Beliau terhadap Baju Gamis
  • Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan alasan kenapa qamish menjadi pakaian yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara alasannya adalah karena qamish begitu praktis. Ya, cuma satu potong pakaian terusan yang menutupi semua bagian tubuh dari atas sampai pertengahan betis atau sedikit di atas mata kaki. Ini salah satu alasan yang beliau kemukakan.
Alhamdulillah, di negeri kita, terutama di kota-kota yang banyak ahlussunnahnya, pemakaian gamis mulai tersebar, sehingga gamis pun kini tidak menjadi pakaian yang asing lagi di kalangan masyarakat. Dan kiranya penting juga kami sampaikan di sini, bahwa Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i -sebagaimana yang kami dengar dari penjelasan guru kami, Al Ustadz Abdul Mu’thi yang mendengar langsung dari beliau- mengatakan bahwa:
Apabila seseorang mengamalkan sunnah jibliyah -sunnah yang merupakan kebiasaan Nabi yang dasarnya bukan pensyariatan seperti memakai gamis, memanjangkan rambut sampai sebahu- dengan niat ittiba’an (mengikuti) dan cinta kepada sunnah Nabi, maka pengamalan sunnah jibliyah ini pun tergolong ibadah dan akan diganjar pahala oleh Allah ta’ala.
Keistimewaan Warna Putih
Setelah mengetahui keutamaan gamis, kali ini kita akan membahas tentang keutamaan baju berwarna putih. Pembahasan berikut hampir seluruhnya bersumber dari buku Mahkota yang Hilang, karya Faishal bin ‘Abduh Qo’id Hasyidi yang diterbitkan oleh Cahaya Ilmu Press, Jogjakarta.
Baju berwarna putih adalah pakaian yang terbaik. Hal ini selaras dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Pakailah pakaian yang putih, karena sesungguhnya itu merupakan salah satu pakaian kalian yang terbaik.”
  • Warna putih adalah warna kemuliaan, hal ini ditunjukkan oleh Jibril ‘alaihissalam yang datang kepada Nabi ‘alahis shalatu wasallam untuk mengajarkan agama ini. Jibril alaihissalam –malaikat termulia- yang menyerupai manusia pada saat itu datang dengan mengenakan baju yang berwarna putih. Sebagaimana yang diceritakan oleh Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu,
“Ketika kami di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari, tiba-tiba muncul seseorang yang sangat putih bajunya, sangat hitam rambutnya, namun tidak nampak bekas safar pada dirinya dan tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya…” (HR Al Bukhari)
  • Hal yang sama juga dilihat oleh salah seorang sahabat pada Perang Uhud, sebagaimana diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Sahabat tersebut bercerita,
“Aku melihat dua orang yang berpakaian putih di sebelah kiri dan kanan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada perang Uhud. Aku tidak pernah melihat mereka sebelum itu maupun sesudahnya.”
Yang dimaksud di sini adalah Jibril dan Mika’il alahimassalam.
Ada apa sebenarnya dengan warna putih ini? Para ulama berusaha menjelaskan karakter warna putih dengan beberapa deskripsi. Di antaranya:
  • “Pakaian putih umumnya menunjukkan sikap tawadhu’ (rendah hati), tidak sombong, tidak ujub, dan seluruh akhlak yang baik.” (Aunul Ma’bud [11/75])
  • “Pakaian putih adalah pakaian yang paling bersih dan paling bagus. Kotoran yang paling kecil pun akan nampak sehingga akan segera dihilangkan, berbeda dengan warna-warna yang lain.” (Hasyiyah An Nasa’i [8/205])
  • “Pakaian putih lebih berpengaruh daripada pakaian yang berwarna lain, sehingga lebih sering dicuci, karena itu menjadi lebih suci, yakni lebih baik, menurut syariat maupun tabiat manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi [8/76]).
Demikianlah beberapa penjelasan berkenaan dengan gamis putih. Semoga keterangan-keterangan yang kami sampaikan dalam artikel ringkas ini menjadi pendorong kita untuk mengamalkan apa yang dicintai oleh Rasulullah. Ingat kata Asy Syaikh Muqbil,
Walaupun perkara tersebut adalah sunnah jibliyah, namun apabila kita amalkan dengan berlandaskan kecintaan diri kita terhadap Rasulullah, maka ini akan mendapatkan pahala insya Allahu ta’ala.
Jadi, ada yang salahkah dengan gamis putih yang kupakai sekarang?
========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar